Ada Tip Ex di Ijazah Muttiara?

Diposting oleh On Wednesday, October 19, 2016 with No comments

Muttiara,  calon bupati Halmahera Tengah
TERNATE-Kasus dugaan ijazah palsu calon bupati Halmahera Tengah, Muttiara kini terus melebar. Sebelumnya, mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar) provinsi Maluku Utara, Ahmad Rakib mengaku tak pernah melegalisir ijazah isteri bupati Halmahera Tengah dua periode itu, kini empat doktor membahasnya dari sisi hukum atas rekomendasi Panwas kepada KPU yang menyebutkan, ijazah SMA Muttiara ditemukan ditip ex.
Rekomendasi temuan tip ex Panwas ditindaklanjuti KPU dengan melakukan verifikasi lanjutan. Selama proses verifikasi itu, berbagai pihak memberikan pendapat, baik dari sisi hukum, administrasi negara, politik dan sebagainya. Pendapat lain mengatakan, dugaan palsu tidaknya ijazah Muttiara dipercayakan kepada KPU mengambil keputusan. Dengan dasar keputusan KPU, kasus ini perlu dibawah ke ranah hukum, baik pidana maupun administrasi negara.
DR. Nelman Kusuma menyatakan tak sependapat apabila ada ijazah yang ditip ex disebut asli. Ijazah atau dokumen negara yang dicoret atau ditip ex cacat administrasi dalam verifikasi. Dalam konteks ini menurutnya, Muttiara tidak memenuhi syarat administrasi, apalagi perubahan nama secara hukum fatal dari sisi pidana maupun administrasi.
“Misalnya, nama saya Nelman dirubah Nulman harus melalui persetujuan pengadilan, walaupun orang yang sama karena hukum seperti itu,” paparnya, Selasa (18/10). Dikatakan, ijazah yang asli adalah ijazah yang dikeluarkan lembaga pendidikan, di luar dari itu tidak bisa mengeluarkan ijazah, karena itu penyalahgunaan kewenangan.
Menurutnya, ijazah yang ditip ex berindikasi kuat ijasah palsu. Nelman menyarankan ke depan calon anggota DPRD, bupati dan gubernur mengajukan ijazah asli. “Kalau ijzah hilang, harus ada keterangan Kepolisian, kalau tidak ada walaupun benar hilang dinyatakan tidak benar. Begitu pula, jika ada perubahan nama harus didaftarkan ke pengadilan,” paparnya.
Dikatakan, seorang calon anggota DPRD, bupati dan gubernur tidak dibenarkan mendaftar sebagai calon menggunakan ijazah yang dicoret-coret apalagi ditip ex, karena itu berindikasi kuat ijazahnya palsu. Selain ditip ex, penyelenggara wajib mengkros chek nomor seri. Jika nomor seri tidak terdaftar di lembaga pendidikan, maka itu palsu. Tapi dalam konteks politik katanya, sering dibungkus dengan berbagai kepentingan meloloskan kepalsuan.
Ketidakjelasan administrasi lanjutnya, ada indikasi tidak melalui proses yang benar, apalagi menggunakan stempel dan meniru tanda tangan pejabat berwenang adalah perbuatan pidana. Administrasi seperti ini menurut pandangan Nelman, kategori cacat administrasi dan tidak memenuhi syarat. “Saya tidak tahu, apakah ini dilakukan untuk memenuhi administrasi atau tidak, yang jelas administrasi seperti tip ex itu ijazah cacat administrasi dan hukum.
DR King Faisal Soleman berpendapat, terlepas ijazah Muttiara asli atau palsu, kepolisian harus melakukan penyelidikan lebih lanjut agar tidak dipolitisasi. Jika tidak cukup bukti, segera diselesaikan sehingga tidak mengganggu proses pilkada yang sedang berlangsung.
Selain itu menurutnya, jika ada fakta dan data yang cukup kuat, tapi tidak ada keputusan tegas KPU, maka jalan lain, sikap dan keputusan ini harus dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu  (DKPP), karena telah masuk pelanggaran etika penyelenggara pemilu.
Sementara DR Asis Hakim melihat ini pelanggaran administrasi. Dalam hal ini mereka sengaja dengan sadar merubah nama dalam ijazah tanpa melalui lembaga berwenang. Kasus tip ex ijazah katanya, KPU harus punya contoh kasus untuk menjadi rujukan dalam mengambil keputusan. Ia mencontohkan, surat suara yang ditip ex saat Pilgub lalu diproses ke Mahkamah Konstitusi, sehingga MK menilai dan memutuskan sah atau tidak. “Hasil keputusan MK, surat suara tidak sah dan harus dilakukan pemilihan ulang,” kata papar memberi ilustrasi.
Dikatakan, pengalaman putusan MK dalam surat suara ditip ex dijadikan acuan KPU Halmahera Tengah untuk memutuskan ijazah yang ditip ex, karena itu yurisprudensi yakni salah satu sumber hukum formil pokok yang harus digunakan dalam keputusan dan kebiasaan atau tradisi pemilu. “Saya kira ini menjadi catatan KPU Halmahera Tengah,” ujarnya.
Contoh lain lanjut Asis, kasus Muttiara tak berbeda dalam kasus Pilkades di Galela, Halmahera Utara. Salah satu calon kepala desa menambah nama dalam ijazahnya, yang bersangkutan dinyatakan gugur sekaligus dipenjara 9 bulan karena terbukti secara terang-terangan melakukan pemalsuan dengan cara menambah nama dalam ijazahnya sendiri.
Kasus ijazah dengan nama Mattiara ditip ex dan diganti dengan Muttiara menurut Asis sudah menunjukkan ijazah itu palsu. Dalam ijazah katanya, terlihat jelas huruf A ditip ex dan diganti dengan huruf U. Dalam konteks hukum kata Asis, ini melanggar karena merubah nama bukan melalui lembaga berwenang, tapi dilakukan secara pribadi pemilik ijazah. “Saya hanya ingatkan KPU Halmahera Tengah berhati-hati memutuskan fakta ijazah palsu ini,” pintanya.
Asis meminta, tip ex ijazah dan temuan lain sudah cukup bukti bagi KPU untuk memutuskan pelanggaran administrasi. Soal status pidana umum itu menjadi kewenangan pihak Kepolisian dan pengadilan umum. Sebab yang memutuskan ijazah palsu adalah kewenangan KPU berdasarkan hasil verifikasi faktual.
Sedangkan DR. Muhlis Hafel mengatakan, hal yang paling prinsip, KPU selaku penyelenggara memiliki kewenangan menyeleksi atau verifikasi berkas. Bila ada temuan administrasi yang cacat, KPU punya kewenangan menggugurkan sebelum penetapan calon, sehingga ada waktu bagi partai politik mengajukan calon pengganti. 
Muhlis meminta KPU harus tegas apabila benar menemukan pelanggaran, tidak perlu memikirkan atau mempertimbangkan hal lain. KPU pada prinsipnya menegakkan aturan, tidak sesuai aturan tidak boleh dijadikan dasar putusan. Sebaliknya, jika KPU tidak tegas akan menimbulkan persoalan ganda dan pertanyaan publik.
“Apakah KPU memikirkan efek konflik atau memang KPU tidak lagi netral? Soal gejolak, pihak kemanan memberikan jaminan melindungi penyelengara. Apabila KPU tidak memutuskan maka akan menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap penyelenggara. Benar bahwa hukum adalah produk politik, tapi dalam politik hukum adalah panglima,” tandas Muhlis. (jun)

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »