DALAM sebuah riwayat
dikisahkan, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik berangkat menunaikan ibadah haji
bersama sahabatnya, Umar bin Abdul Aziz. Di sela-sela melaksanakan ibadah haji,
Sulaiman mengajak Umar mendaki sebuah bukit. Dari atas bukit itulah, tampak
jelas para jamaah haji yang datang dari segala macam penjuru dunia, dari
beragam suku, bahasa, dan warna kulit.
Melihat rakyatnya yang sedemikian banyak,
sang khalifah terkejut. Sejurus kemudian, perasaan bangga menyelimuti dirinya.
Dia pun berkata kepada Umar yang berada di sampingnya, "Lihatlah wahai
Umar betapa banyak rakyat yang kupimpin sekarang!"
Mendengar ucapan tersebut, Umar merasa ada
hal yang harus diluruskan. Ia lantas berkata, "Ya benar wahai Khalifah,
mereka adalah rakyatmu sekarang, namun Anda mesti menyadari wahai saudaraku,
mereka kelak akan menjadi musuhmu di hadapan Allah kelak, meminta
pertanggungjawabanmu di hari kiamat."
Mendengar perkataan Umar, kaki khalifah
bergetar, wajahnya memerah memancarkan rasa takut. Hanya isakan tangis yang
terdengar darinya tanpa bisa berkata apa-apa sembari menerawang keadaan di hari
kiamat yang sudah pasti akan dihadapinya.
Menjadi pemimpin atau pemuka adalah impian
banyak orang. Sejak dulu, manusia memiliki kecenderungan yang ekstra dalam
mengejar status sosial tersebut. Jabatan bagi banyak orang adalah jaminan
kepuasan diri dan kemapanan hidup. Terlebih lagi, bila menduduki posisi-posisi
strategis di pemerintahan, tentu hal itu sangat menggiurkan. Dari kisah di
atas, setidaknya ada dua hal penting yang dapat kita jadikan sebagai ibrah:
Pertama, selektif memilih penasihat. Kearifan
dan kebijakan seorang pemimpin sangat ditentukan oleh orang-orang yang berada
di sekitarnya. Kebijakannya akan sejalan dengan prinsip keadilan. Itu dapat
terjadi bila kolega atau pembantu terdekatnya adalah orang-orang yang bijak,
yang tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Bukan pula sekadar mencari muka
atasannya.
Pemegang kekuasaan butuh pendamping yang
dapat memberi solusi terbaik dalam problem yang ada. Alangkah buruknya bila
pemimpin itu dikelilingi pembisik bermental setan, yang hanya bisa meniupkan
ide-ide jahat yang menyengsarakan rakyat. Pembisik jahat enggan memberi nasihat
bila atasannya berbuat khilaf, ia malah membiarkan hal itu dan dia mengaku siap
pasang badan untuk memberi rasa aman.
Kedua, tidak besar kepala dengan kuantitas
pengikut. Untuk menjadi pemimpin dan pemuka, sudah barang pasti membutuhkan
rakyat atau pengikut. Sehingga, sebisa mungkin mereka akan melakukan banyak hal
untuk memperbesar dan memperbanyak jumlah pengikut tersebut. Ini agar otoritas
dan hegemoni kekuasaannya meluas dan menjauh.
Manusia umumnya, bila memegang tampuk pimpinan,
menjadi berbangga atas banyaknya pengikut dan luasnya cakupan wilayah. Namun,
jarang sekali yang menerawang lebih jauh ke depan, bahwa urusan kepemimpinan
itu bukan urusan duniawi semata, melainkan juga menyangkut urusan ukhrawi.
Pemimpin yang hanya tertipu ilusi jumlah
bilangan pengikut, namun lupa akan tugasnya, kelak pengikut-pengikutnya itu
adalah musuh nyata yang menuntut pertanggungjawabannya di akhirat. Pemimpin
yang bermental penguasa dengan hanya memperbudak bawahannya, kelak di akhirat
akan berlaku sebaliknya. Perkara berat inilah yang harus menjadi perhatian
serius bagi setiap pemimpin. (rol)